Gebang – Sedikitnya, puluhan hektar lahan pertanian warga di Desa Pasiran dan Padang Langkat, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat tak lagi produktif. Pasalnya, lahan penghasil padi yang dikelola warga, diduga tercemar limbah pabrik kelapa sawit (PKS) PT Raya Padang Langkat (RAPALA), sejak tahun 2022 silam.
Hal itu seperti yang disampaikan Guritno, warga yang resah akibat limbah PKS yang mencemari araeal persawahan di sana. “Setelah masuknya limbah RAPALA ke lahan persawahan, hampir dua tahun ini petani di Desa Pasiran dan Padang Langkat tidak dapat menggunakan lahannya,” tutur Guritno, Sabtu (20/5/2023) sore.
Biasanya, kata Guritno, lahan tersebut digunakan warga untuk menamam padi. Meskipun tidak dijual, tapi bisa mencukupi kebutuhan pangan petani hingga setahun. Namun kondisi saat ini berubah total. Puluhan hektar lahan pertanian tersebut tak lagi bisa digunakan sebagaimana mestinya.
Kandungan air yang masuk ke persawahan warga, ditengarai mengandung unsur limbah yang cukup tinggi. Hal itu sesua dengan hasil uji laboratorim yang dilakukan Guritno jelang akhir tahun 2022 silam. Ia mengujinya melalu laboratorium Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara.
Dari dua sampel air yang diambil Guritno baik pada areal persawahan dan kolam waduk PT RAPALA, menunjukkan hasilnya sama. Dimana, kandungan limbah lemak dan minyak banyak yang masuk ke areal persawahan. Hal itulah yang diduga menjadi penyebab matinya areal persawahan di sana.
Guritano dan warga lainnya pun melaporkan hal tersebut ke pihak – pihak terkati. Namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut dari hasil laboratorium tersebut dan lahan pertanian di sana tak lagi produktif.
Warga berharap, agar seluruh pihak, terutama Pemerintah Kabupaten Langkat untuk memperhatikan nasib petani di sana yang sudah sangat memprihatinkan. “Karena dampak dari limbah itu, puluhan hektar sawah kami tak bisa ditanami padi dan tak produktif,” tandas Guritno.
Estate Manager Kebun PT RAPALA Bernard Hutabarat menepis hal tersebut. Ia menyebutkan, pada tahun 2000-an PKS PT RAPALA kekurangan sumber air. Pihak perusahaan pun memanfaatkan areal yang lebih rendah untuk menampung air. Kemudian areal terebut dibuat benteng, untuk menampung dan mensuplai air ke pabrik.
“Pada tahun 2010, kami membuat waduk penampung air di dekat pabrik, untuk mengantisipasi saat musim kemarau. Maka waduk yang dianggap masyarakat untuk mengalirkan libah itu, tidak kami pakai lagi. Karena itu bukan penampungan limbah,” terang Bernard, Senin (22/5/2023) siang, didampingi Humas PT RAPALA Kandir Medan Defiansyah Manik SH dan Legal Kandir Medan David Guntoro Pakpahan SH.
Bernard menambahkan, air tersebut bukanlah air limbah, tapi air bersih dari tadah hujan untuk mensuplai air ke pabrik. Saat masih dipenuhi air, Pemerintah Desa Padang Langkat meminta perusahaan untuk mensuplai air ke kolam dari waduk tersebut.
Kalau air itu mengandung limbah, kata Bernard, tentunya pihak desa tidak meminta untuk mengairi kolam milik desa. Bahkan, dulunya banyak warga sekitar yang mancing ikan di waduk. Hingga saat ini pun, warga masih menanam padi di persawahan mereka.
“Perihal hasil uji lab, kita gak tau kemana mereka mengujinya. Tapi kalau sama – sama kita ambil dan mengujinya bersama, kita pun bersedia. Kita gak tau kapan mereka mengabil sampelnya. Keluhan meraka jelas, padahal gak ada limbah. Gak ada saluran limbah pabrik ke sana. Jaraknya pun sekira 3 kilometer ke persawahan dan limbah pabrik ada sendiri tempatnya,” terang Bernard. (Ahmad)